Memahami proses terbentuknya perilaku memudahkan kita dalam mengelola perilaku kita sendiri. Dalam hidup, tentu kita memiliki perilaku yang ingin dibentuk maupun yang ingin kita cegah atau hilangkan. Ini penting. Karena perilaku adalah bahan baku terbentuknya kebiasaan dan karakter. Perilaku yang kita pupuk berulang-ulang akan membentuk kebiasaan. Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk karakter kita. Seperti apa yang disampaikan oleh John Dryden: “Awalnya kita membentuk kebiasaan kita, lalu kebiasaan membentuk kita.”
Bagaimana proses terbentuknya perilaku, kebiasaan, dan karakter ini? Ralph Waldo Emerson (1803-1882) dalam kutipan populernya mengatakan:
“Sow a thought and you reap an action; sow an act and you reap a habit; sow a habit and you reap a character; sow a character and you reap a destiny.”
“Taburlah pikiran dan Anda menuai tindakan; taburlah tindakan dan Anda menuai kebiasaan; taburlah kebiasaan dan Anda menuai karakter; taburlah karakter dan Anda menuai takdir.”

800 tahun sebelum Emerson mengatakan hal ini, Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin sudah menyampaikan hal yang serupa (saya ringkas terjemahannya):
“Yang pertama datang pada hati adalah lintasan pikiran (الخاطر)…
Kedua, berkobarnya keinginan (الرغبة)…
Ketiga…dan ini dinamakan tekad (العتقاد)…
Keempat, keputusan azam (العزم)… ini juga dinamakan cita-cita, niat, dan maksud…
Maka, di sini ada empat hal bagi hati, sebelum dikerjakan dengan anggota badan. Yaitu: lintasan pikiran atau kata hati, lalu kecenderungan, lalu tekad, kemudian cita-cita yang kuat.”
Jadi, menurut Al Ghazali, benih dari perilaku adalah lintasan pikiran. Namun, untuk sampai berbuah menjadi perilaku ada tahapannya. Tidak cukup hanya lintasan pikiran. Lengkapnya sebagai berikut:
Tahap Pertama: Khaatir.
Awalnya adalah khaatir. Terjemahannya goresan atau lintasan. Mudahnya kita terjemahkan dengan “lintasan pikiran.” Bentuknya bisa berupa gambar. Seperti contoh yang disampaikan oleh Al Ghazali dalam Ihya, misalnya gambaran tentang seorang wanita yang melintas dalam pikiran. Khaatir juga bisa berupa kata-kata, sehingga Al Ghazali juga menyebut khaatir ini dengan istilah haditsun nafsi (beberapa penerjemah menerjemahkannya dengan “kata hati.” Dalam konteks psikologi, saya lebih suka menerjemahkannya dengan “self-talk”).
Lintasan pikiran ini bisa mengarah pada kebaikan atau sebaliknya, mengarah pada keburukan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dari Ibnu Mas‘ud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لِابْنِ آدَمَ لَمَّتَانِ: لَمَّةٌ مِنَ الْمَلَكِ، وَلَمَّةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ، وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، وَتَطْيِيبٌ بِالنَّفْسِ، وَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ، فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ، وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَتَخْبِيثٌ بِالنَّفْسِ
“Ada dua lammah (bisikan) bagi ibnu Adam, yakni lammah setan dan lammah malaikat. Lammah malaikat mendorong kepada kebaikan, membenarkan yang hak, dan menjernihkan jiwa. Sedangkan lammah setan mendorong kepada keburukan, mendustakan yang hak, dan mengotori jiwa.”
Tahap Kedua: Raghbah
Raghbah dapat diterjemahkan dengan keinginan. Lintasan pikiran yang berulang-ulang akan membentuk keinginan. Saat sudah menjadi keinginan, ia lebih sulit untuk dihilangkan. Maka, menurut Al Ghazali, untuk mencegah perilaku buruk mulailah dengan mencegah lintasan pikiran. Meskipun kata Imam Al Ghazali, seringkali khaatir dan raghbah ini ada di luar kendali kita (istilah Al Ghazali: tidak termasuk dalam ikhtiar. Ikhtiar: kemampuan memilih). Seringkali khaatir dan raghbah muncul secara otomatis begitu saja. Maka, jika demikian setidaknya cegahlah ia agar tidak menjadi i’tiqad.
Tahap Ketiga: I’tiqad
I’tiqad sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi iktikad dan tekad. Menurut KBBI:
itikad n 1 tekad, kemauan yang teguh; 2 keyakinan, kepercayaan;
tekad/te·kad/ /tékad/ v kemauan (kehendak) yang pasti; kebulatan hati; iktikad
Bila khaatir dan raghbah bisa saja muncul di luar kesadaran kita, i’tiqad tidak mungkin muncul tanpa melibatkan kesadaran kita. Kita punya ikhtiar (kemampuan memilih) dalam hal ini.
Tahap Keempat: ‘Azam
‘Azam adalah tekad yang sudah benar-benar bulat. Titik kritis antara niat dengan tindakan. Ini sebabnya, Al Ghazali mengistilahkannya juga dengan hamm (cita-cita yang kuat), niat, dan qashdu (maksud/tujuan). Apa perbedaan antara i’tiqad dan ‘azam? Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa ‘azam hampir selalu diiringi dengan tindakan yang mengikutinya sementara i’tiqad belum tentu.
Tahapan dari Al Ghzali ini selaras juga dengan yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah. Menurut Ibnul Qayyim dalam Kitab Al Fawaaid:
“Bertahan dan lawanlah lintasan pikiran (al khatirah), karena jika kau gagal melakukannya, ia akan menjadi pemikiran (al fikrah). Bila ia telah menjadi pemikiran, tolaklah, jika engkau tidak melakukannya, ia akan menjadi keinginan (al ‘iradah). Lawanlah keinginan, jika tidak, ia akan menjadi tekad dan niat (al ‘azimah). Cegahlah tekad dan niat, sebab bila tidak ia akan menjadi tindakan (al ‘amal). Bila ia sudah menjadi tindakan, perangilah, sebab bila tidak ia akan menjadi kebiasaan (al ‘adah) yang engkau akan sulit melepaskan diri darinya.”
Saya sempat menulis konsep pembentukan perilaku menurut Ibnul Qayyim di artikel berikut:
Konsep Pembentukan Perilaku Menurut Ibnul Qayyim dan NLP
Mengapa Kita Perlu Belajar Memahami Tahapan Pembentukan Perilaku?
Setelah membaca artikel ini, pertanyaan yang mungkin muncul adalah: “pentingkah kita tahu tahapan ini? untuk apa?” Secara subyektif, saya akan menjawab: penting. Kenapa? Karena untuk beradaptasi dengan kehidupan, kita perlu terampil mengubah perilaku kita.
Perhatikan rumusan berikut:
Perilaku —> Hasil
Manusia diberi kemampuan ikhtiar. Dalam bahasa Arab, ikhtiar berasal dari kata ikhtara – yakhtaru yang artinya “memilih.” Kata ini juga seakar dengan kata “khair” yang artinya “baik.” Ikhtiar adalah kebebasan manusia untuk memilih tindakannya. Itulah sebabnya, dalam bahasa Indonesia, ikhtiar seringkali disamakan dengan usaha. Usaha yang dilakukan seseorang inilah yang akan menentukan nasib (bagiannya) nanti (baik di dunia maupun di akhirat). Allah berfirman:
أُولَٰئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا
“Mereka itulah yang memperoleh nashib (bagian) dari apa yang telah mereka kerjakan” — Al Baqarah 202
Sederhananya, usaha seseorang akan memengaruhi hasil yang ia dapatkan. Maka, agar kita dapat berusaha optimal kita perlu tahu bagaimana mengubah perilaku kita. Bagaimana kita mendorong perilaku yang bermanfaat dan mencegah atau menghentikan perilaku yang tidak bermanfaat.
Al Ghazali dan NLP
Bagi teman-teman yang belajar NLP, saya yakin teman-teman mengenal model yang bernama “Human Model of The World.” Di dalam model ini kita belajar bahwa perilaku seseorang dipicu oleh state of mind-nya, dan state of mind dipengaruhi oleh representasi internalnya. Apakah konsep ini selaras dengan apa yang dipaparkan Al Ghazali sebelumnya? Jawabannya “ya” — sangat selaras. Perhatikan skema berikut ini:

Menarik bukan?
Insyaallah di webinar besok, kita akan sama-sama mengeksplorasi konsep-konsep psikologi ala Al Ghazali dan membandingkannya dengan keilmuan Neuro-Linguistic Programming (NLP). Berikut info detailnya.

Webinar “NLP from Ghazalian Perspective”
Zoom, Senin 16 Mei 2022 pk.09.00-12.00
Bahasan:
- Dari Self-Awareness menuju Ma’rifatunnafs
- Konsep pembentukan perilaku menurut Imam Al Ghazali
- Cara kerja pikiran menurut Imam Al Ghazali
- Perbandingan antara NLP dengan Ghazalian
Prosedur Pendaftaran:
1. Transfer 125rb ke rek BCA 3620199299 an. Darmawan Aji P.
2. Setelah transfer tidak perlu melakukan konfirmasi, silakan langsung masuk ke grup WA berikut ini:
https://chat.whatsapp.com/L7IhtrpyJtF101PlNWh0ej
3. Link Zoom akan dibagikan melalui grup WA tersebut 🙏
Sampai jumpa esok hari insyaallah.