Pernah memperhatikan nggak? Banyak di lowongan kerja ditulis persyaratannya: bisa bekerja multitasking. Multitasking adalah kemampuan mengerjakan dua tugas dalam waktu bersamaan. Misalnya:
- Mengirim email sambil menyapa tamu.
- Menata berkas sambil menjawab telepon.
- Membuat laporan sambil mengikuti rapat.
- Dobel Zoom meeting, juga multitasking
Bukan hanya di kantor, di rumah kita pun banyak yang melakukan multitasking.
- Masak sambil nyapu
- Ngasuh anak sambil scrolling sosmed
- Nemenin anak belajar sambil balas-balas chat
- Ikut kelas online sambil beberes rumah
Kita membayangkan, melakukan multitasking ini menghemat waktu dan tenaga.
Dengan multitasking kita bisa menyelesaikan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu yang sama.
Oleh sebagian perusahaan, kemampuan multitasking dianggap sebagai kemampuan yang berharga. Kenapa? Karena bisa menghemat waktu dan biaya. Dengan multitasking, perusahaan tidak perlu menggaji dua karyawan dengan tugas berbeda.
Pertanyaannya, apakah manusia benar-benar bisa melakukan multitasking?
Ternyata tidak. Otak manusia didesain untuk single-tasking. Pada saat multitasking sebenarnya yang terjadi adalah task-switching. Kita berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya.
Proses task-switching ini ternyata sangat melelahkan otak kita. Kenapa demikian? Karena perpindahan dari satu tugas ke tugas lainnya ini menciptakan residu atensi.
Apa itu residu atensi? Residu atensi adalah sisa perhatian yang bertahan pada satu tugas meskipun kita beralih ke tugas lainnya.
Misalnya, multitasking antara buat proposal dengan balas komen di sosmed. Sebenarnya, saat melakukan ini kita melakukan task-switching dari balas komen ke buat proposal. Awalnya atensi kita tertuju pada buat proposal, saat beralih balas sosmed atensi kita berpindah. Saat berusaha kembali buat proposal, atensi kita ke balas komen ini masih tersisa sehingga kita tidak bisa fokus penuh pada proposal yang sedang kita kerjakan.
Efeknya apa?
- Butuh waktu lebih banyak untuk menyelesaikan satu tugas. Salah satu riset menyebutkan, pengerjaan tugas lebih lama 50% bila kita multitasking.
- Otak cepat lelah karena kita berpindah-pindah dari satu area otak ke area lainnya. Willpower kita melemah – dan ini efeknya kemana-mana. Mulai dari pengambilan keputusan yang buruk, fokus yang melemah, sampai penilaian yang ceroboh.
- Kita membuat kesalahan lebih banyak saat mengerjakan tugas tersebut.
Maka tidak heran, bila pada ada studi yang menyebutkan bahwa multitasking menyebabkan turunnya produktivitas sebanyak 40%.
Bahkan pada tahun 2013, ada sebuah organisasi bernama Realization melakukan studi global pada 45 organisasi dengan 1000-50.000 karyawan dari berbagai industri. Mulai dari otomotif sampai farmasi. Berdasar studi tersebut, kerugian akibat multitasking di dunia pekerjaan ditaksir mencapai Rp. 7 trilyun per tahun!
Pertanyaan berikutnya, bisakah multitasking jadi produktif? Kapan? Bagaimana?
Multitasking Produktif
Untuk bisa melakukan multitasking yang produktif, kita perlu memahami bahwa setiap tugas membutuhkan kadar fokus dan proses kognitif yang berbeda. Ada tugas yang tidak perlu mikir, ada tugas yang perlu mikir mendalam.
Secara sederhana, kita bisa bagi tugas ke dalam dua jenis:
- Tugas yang nggak perlu fokus, nggak perlu mikir juga (low-attention task)
- Tugas yang butuh fokus dan biasanya butuh mikir secara mendalam juga (high-attention task)
Low-attention task
Biasanya pekerjaan yang sudah otomatis atau jadi kebiasaan, tidak butuh fokus. Misalnya:
- Mendengarkan musik
- Mengarsipkan email yang sudah diproses
- Menghapus chat yang sudah dibaca
- Nyapu rumah
- Joging
High-attention task
Pekerjaan yang butuh mikir mendalam atau butuh fokus terus menerus (sustained attention). Misalnya:
- Menyiapkan report untuk atasan
- Mengerjakan skripsi
- Mengedit video
- Melakukan obrolan mendalam (misal: coaching)
Multitasking bisa bekerja dan hasilnya tetap bagus untuk:
Low-attention task + Low-attention task = Huge Benefit
Misalnya:
- Nyapu rumah (low) sambil dengerin musik (low)
Multitasking mungkin masih bisa bekerja dengan baik untuk:
High-attention task + Low-attention task = Medium Benefit
Misalnya: Nulis laporan (high) sambil dengerin musik (low)
Multitasking akan jadi sumber bencana jika kita menggunakannya untuk:
High-attention task + High-attention task = Don’t!
Contoh:
- Nulis laporan (high) sambil ngerjain skripsi (high)
- Ngoaching klien (high) sambil ngedit video (high)
Nah, sebenarnya di antara low-attention task dengan high-attention task itu ada medium-attention task. Kerjaan-kerjaan yang butuh fokus sesekali, tidak terus menerus.
Misalnya: masak (masakan sederhana yak), dengerin podcast, nonton bola, nemenin anak yang udah rada gede.
Medium-attention task + Low-attention task = huge benefit.
Medium-attention task + Medium-attention task = small benefit.
Medium-attention task + High-attention task = small benefit.
Sebenarnya, jika kita ingin menghasilkan hasil kerja yang berkualitas, direkomendasikan untuk high-attention task itu kita singletasking saja. Deep work akan menghasilkan quality work. Artikel terkait deep work dapat dibaca di sini:
Pingback: Apakah Multitasking Bikin Produktif? Cari tahu disini! – Zulfadhli Ashari