fbpx
Darmawan Aji Productivity Coach. Penulis 7 buku laris: Kitab Anti Penundaan, Self-Coaching, Mindful Life, Productivity Hack, Life by Design, Hypnoselling, dan Hypnowriting. Gandrung membaca, menulis dan berlatih silat tradisional. Tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung.

Cara Mengatasi Klien yang Resisten dalam Sesi Coaching

1 min read

Judul artikel kali ini sengaja saya buat agak provokatif: bagaimana cara mengatasi klien yang resisten? Klien yang dimaksud di sini adalah klien dalam sesi konseling maupun coaching. Meskipun tentu saja, penerapannya bisa meluas. Bisa diterapkan kepada calon pelanggan, anak, bahkan pasangan (eh, emang ada pasangan yang resisten? Hehehe).

Sebelum masuk ke solusi, mari kita lihat gambaran klien yang resisten. Klien dianggap resisten ketika ia:

  • Menolak
  • Membantah
  • Menyangkal
  • Ngeyel (apa bahasa Indonesianya ya?)
  • Mengabaikan
  • Bersikap defensif
  • Mencari kambing hitam
  • Merebut percakapan
  • Memotong pembicaraan
  • Mengalihkan tema pembicaraan

Nah, nggak enak banget kalau bertemu klien semacam ini kan? Bagaimana kita bisa bantu kalau mereka bersikap seperti ini? Lalu, apa solusinya bila kita bertemu dengan klien yang begini? Mari kita bahas.

Satu prinsip yang perlu kita pahami adalah: tidak ada klien yang resisten. Loh? Kok? Nyatanya ada kan? Yup, resistensi itu ada, namun klien yang dari sononya resisten itu tidak ada. Resistensi itu hasil interaksi antara dua pihak: kita dan klien. Cara kita berinteraksi dengan mereka lah yang menghasilkan resistensi.

Bila kita:

  • Menekan mereka;
  • Mengkonfrontasi secara kasar;
  • Menyalahkan mereka;
  • Melabeli mereka;
  • Memaksakan opini kita;
  • Tidak menghargai pendapat mereka;
  • Merasa pendapat kita yang paling benar;
  • Menganggap mereka tidak berdaya;
  • Berusaha “memperbaiki” mereka (artinya kita menganggap ada yang salah pada diri mereka);
  • Menjejali mereka dengan nasihat dan saran;
  • Tidak meyakini mereka punya potensi dan solusi;

Maka wajar bila kemudian mereka resisisten. Wajar bila mereka bereaksi dengan melawan balik. Ini hukum alam. Dalam psikologi diistilahkan dengan psychological reactance.

Jadi, kalau kita merasakan klien kita resisten maka yang perlu kita periksa adalah diri kita sendiri. Apa sikap kita yang memicu mereka seperti itu? Lalu perbaiki.

Dalam ilmu NLP dikenal sebuah kaidah resistance indicates a lack of rapport – resistensi menandakan kurangnya keakraban. Kurang keakraban, hilang kepercayaan. Maka, bila kita menemukan resistensi, bangun kembali rapport-nya. Cek kembali state kita: sudahkah niat kita tulus? Sudahkah kita siap menerima apa pun yang terjadi? Lalu perbaiki perilaku kita: lakukan pacing lebih banyak, listening lebih mendalam, berempatilah dengan mereka, refleksikan apa yang mereka rasakan, berusahalah memahami mereka terlebih dahulu. Bila ini dilakukan maka sedikit demi sedikit kepercayaan klien akan kembali dan menguat. Setelah itu terjadi, resistensi akan menguap dengan sendirinya.

Darmawan Aji Productivity Coach. Penulis 7 buku laris: Kitab Anti Penundaan, Self-Coaching, Mindful Life, Productivity Hack, Life by Design, Hypnoselling, dan Hypnowriting. Gandrung membaca, menulis dan berlatih silat tradisional. Tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *