fbpx
Darmawan Aji Productivity Coach. Penulis 7 buku laris: Kitab Anti Penundaan, Self-Coaching, Mindful Life, Productivity Hack, Life by Design, Hypnoselling, dan Hypnowriting. Gandrung membaca, menulis dan berlatih silat tradisional. Tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung.

Tiga Kesalahan dalam Mengubah Passion Jadi Profit

3 min read

Buat apa ngejar passion, anak istri nggak bisa dikasih makan pakai passion. Hmm, pernah dengar kalimat semacam ini? Kalimat ini benar, tapi tidak lengkap. Benar, anak dan istri tidak bisa dikasih makan pakai passion jika passionnya tidak menghasilkan. Tapiiii… bagaimana kalau passionnya menghasilkan? Jadi bisa kan? Nah, maka perlu cara yang tepat untuk memanfaatkan passion supaya menghasilkan; mengubah passion jadi profit.

Tentu saja membahas tentang bagaimana mengubah passion menjadi profit butuh bahasan panjang. Dalam artikel ini kita akan membahas satu hal utama terlebih dulu, yaitu kesalahan utama saat kita berusaha mengubah passion menjadi profit. Mari kita mulai…

Pertama, hanya mengandalkan passion.

Passion saja tidak bisa diandalkan. Hanya mengandalkan passion, tidak akan bisa menghasilkan uang. Orang tidak akan mau bayar kita hanya karena kita mencintai apa yang kita lakukan.

Perhatikan rumus berikut:

Uang = Alat Tukar Nilai Tambah

Orang akan mau memberikan uangnya bila kita memberi nilai tambah bagi mereka. Semakin besar nilai yang kita tambahkan pada seseorang, semakin besar potensi uang yang akan kita terima. Jadi, fokus kita pada saat ingin menghasilkan uang jangan pada uangnya melainkan fokus pada nilai apa yang bisa kita tambahkan pada orang lain.

Maka, passion saja menjadi tidak cukup. Kita juga perlu dua elemen lain: Needs & Competencies. Mari kita bahas.

Needs

Needs adalah apa yang orang lain butuhkan.

  • Apa masalah yang bisa kita bantu pecahkan?
  • Apa kekhawatiran yang bisa kita bantu selesaikan?
  • Apa keinginan yang bisa kita penuhi?
  • Apa harapan yang bisa kita bantu wujudkan?

Orang mau membayar jika kita bisa membantu mereka menyelesaikan masalah atau mewujudkan harapan mereka. Tanpa ini, orang tidak akan mau membayar kita. Terkait hal ini kita akan bahas lebih dalam di poin kedua nanti.

Competencies

Elemen berikutnya adalah kompetensi/kemampuan. Orang tidak akan mau bayar hanya karena kita suka, orang akan mau bayar bila kita bisa bantu menyelesaikan masalah mereka dan kita ahli dalam prosesnya. Maka, tidak cukup hanya punya passion, kita juga perlu pengetahuan dan skill yang mendukung passion kita.

Kedua, fokus pada produk.

Banyak yang memulai bisnis dari passion mengawalinya dengan berpikir: produk/jasa apa yang perlu saya buat ya? Lalu kita mulailah membuat produk dan kemudian berusaha meyakinkan orang lain untuk membeli produk kita. Pemikiran ini tidak salah, hanya saja kurang efisien. Sebaiknya mulailah dari mengenali apa yang dibutuhkan orang lain dulu.

Pak Hermawan Kartajaya mengatakan, marketing yang efektif itu ya dimulai dari kata “market.” Sehingga pertanyaan yang tepat adalah:

  • Siapa yang akan jadi target market kita?
  • Apa kebutuhan/masalah/harapan mereka?
  • Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan mereka?

Meskipun pak Hermawan mengatakan hal ini sejak sepuluh tahun lalu, hal ini diaminkan oleh ilmu-ilmu baru yang digunakan oleh para start up masa kini dalam mengembangkan produk, misalnya ilmu Design Thinking.

Dalam proses pengembangan produk menggunakan design thinking, tahap pertama yang dilakukan adalah empathize – berempati terhadap calon pengguna dari produk kita. Memahami apa kebutuhan nyata mereka, sehingga produk kita benar-benar bisa menyelesaikan masalah nyata mereka. Maka, dalam pengembangan produk jangan egois dan hanya berfokus pada apa yang kita suka saja. Kita perlu menempatkan diri pada posisi orang lain. Kita perlu berkolaborasi dengan calon pengguna untuk mengembangkan produk bersama-sama.

Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Pak Hermawan, Kevin Lund dalam buku Conversation Marketing mengatakan, marketing itu sebuah percakapan dan agar orang nyaman bercakap dengan kita maka awalilah dengan banyak mendengarkan. Yap, mendengar terlebih dulu sebelum berbicara. Bukan kah memuakkan bila kita bercakap-cakap dengan orang yang banyak bicara dan tidak mau mendengar?

Ketiga, fokus pada saya.

Ini juga kesalahan umum. Saat pertama kali meluncurkan produk, banyak orang merasa inferior – rendah diri. Krisis kepercayaan pada diri sendiri. Maka kemudian untuk menaikkan kepercayaan diri kita pun berusaha mengangkat diri sendiri. Berusaha keras menunjukkan bahwa kita kompeten dan kredibel. Berusaha keras menunjukkan bahwa produk kita superior. Mulai dengan memajang sederet gelar, mengklaim diri bahwa “saya hebat” “produk saya paling hebat,” sampai over promote dengan apa yang kita tawarkan. Ibarat sebuah cerita, kita menceritakan sebuah kisah dimana kita adalah pahlawannya. Sementara yang mendengar hanyalah figuran atau penonton yang kita harapkan mengagumi kisah kepahlawanan kita dan akhirnya mau membeli dari kita.

Masalahnya adalah… calon pengguna atau pembeli tidak peduli dengan itu semua. Lalu, apa yang mereka pedulikan? Yang mereka pedulikan adalah diri mereka sendiri. Orang tidak peduli cerita tentang kita, mereka hanya peduli cerita yang relate dengan mereka. Maka, berhentilah menceritakan cerita kita, mulailah menceritakan cerita mereka. Ceritakan bagaimana produk/jasa kita bisa membantu mereka menjadi pahlawan dalam kehidupan mereka.

Kesimpulan

Jadi, sebenarnya kesalahan utama saat akan mengubah passion menjadi profit hanya satu: egoisme. Solusinya pun hanya satu: empati. Mulai lah dengan berempati terhadap calon pembeli, ciptakan produk yang bisa membantu mereka menyelesaikan masalahnya, lalu ceritakan bagaimana produk ini bisa membantu mereka mencapai apa yang mereka harapkan.

Update tanggal 21 September 2022

Saya baru saja menyelesaikan workbook untuk mengenali passion. Jika teman-teman membutuhkan, silahkan unduh dari tautan di bawah ini. Dan untuk teman-teman yang sudah menemukan passion, kemudian ingin mengubahnya menjadi salah satu sumber income (pekerjaan), saya memiliki kelas untuk membantu teman-teman mewujudkan keinginan bekerja sesuai passion.

Namun mohon maaf, kelas ini bukanlah kelas self-paced, dan saya pun membatasi jumlah peserta di setiap sesinya. Jadi, jika halaman kelas di bawah sudah melewati tanggalnya silahkan hubungi tim saya di nomor .

Darmawan Aji Productivity Coach. Penulis 7 buku laris: Kitab Anti Penundaan, Self-Coaching, Mindful Life, Productivity Hack, Life by Design, Hypnoselling, dan Hypnowriting. Gandrung membaca, menulis dan berlatih silat tradisional. Tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *