Para filsuf sejak dulu kala berusaha menemukan unsur-unsur kunci yang membentuk kebahagiaan. Mereka menyebutnya dengan istilah kimia kebahagiaan. Mereka mengajukan pertanyaan pokok:
- Mampukah manusia merasakan kebahagiaan?
- Maukah mereka merasakan kebahagiaan?
- Jika manusia mampu dan mau berbahagia, bagaimana caranya?

Sebagian orang menyandarkan kebahagiaan pada kekayaan dan kemakmuran material. Mereka menganggap kekayaanlah syarat dari kebahagiaan. Tak ada kebahagiaan tanpa kemakmuran harta benda.
Sebagian lagi menyandarkan kebahagiaan pada kesehatan. Percuma harta benda dan kekayaan bila tidak disertai dengan kesehatan. Bagaimana mungkin kita dapat berbahagia dengan apa yang kita punya bila kita tak memiliki kesehatan untuk menikmatinya?
Sebagian lainnya menyandarkan kebahagiaan pada ketenaran. Alasan mereka, nama baiklah yang akan dikenang orang. Untuk apa kekayaan dan kesehatan bila kita tidak dikenal oleh dunia? Dikenal orang sebagai orang baik, inilah kebahagiaan sejati.
Adalah wajar menganggap kekayaan, kesehatan dan ketenaran sebagai kunci kebahagiaan. Secara logika, ini masuk akal bukan? Namun, menyandarkan diri hanya pada kekayaan, kesehatan dan ketenaran sebagai kunci kebahagiaan akan berbahaya. Mengapa? Karena ketiga hal ini ada di luar kendali kita sepenuhnya.
Kekayaan, siapa yang bisa memastikan kita benar-benar menjadi kaya nantinya? Kita tidak tahu takdir kita. Di zaman sekarang, mereka yang kaya bisa miskin dalam sekejap mata. Pemiskinan oleh KPK misalnya, akan menguras semua harta yang dimiliki oleh terdakwa.
Kesehatan, dapatkah kita memastikan setiap saat kita tetap sehat? Ini tidak mungkin. Berapa banyak dari kenalan kita yang makannya dijaga, olahraga teratur, stress dihindari namun tiba-tiba kena musibah penyakit kritis? Takdir adalah misteri.
Ketenaran, bisakah kita memastikan hanya hal baik tentang kita yang tersebar di antara manusia? Tidak bisa. Sekarang zaman fitnah, orang baik pun bisa dikesankan buruk melalui media.
Kita akan sulit bahagia bila menyandarkan kebahagiaan pada hal-hal di luar diri kita. Kita akan sulit bahagia bila membuat syarat yang sulit untuk kita pastikan keberadaannya. Kita akan sulit bahagia bila menyandarkan kebahagiaan pada hal-hal di luar kendali kita.
Bila bahagia ada pada kekayaan harta, lalu bagaimana dengan mereka yang miskin? Tidakkah mereka layak untuk bahagia juga?
Bila bahagia ada pada kesehatan, lalu bagaimana dengan mereka yang sakit? Tidakkah mereka layak untuk bahagia pula?
Bila bahagia ada pada ketenaran, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak terkenal? Tidakkah mereka layak untuk bahagia?
Ya, mereka semua layak bahagia. Kekayaan, kesehatan dan ketenaran adalah misteri. Allah sudah mengaturkannya untuk kita. Apapun takdir kita, terima dan jalanilah sepenuh cinta. Sandarkan kebahagiaan dalam diri, jangan biarkan ia terombang-ambing oleh sesuatu yang di luar kendali.
Ada korelasi antara kekayaan, kesehatan dan ketenaran dengan kebahagiaan. Namun, mereka bukanlah penyebab kebahagiaan. Meskipun miskin, kita tetap dapat berbahagia. Meskipun sakit, kita dapat memilih untuk bahagia. Meskipun tidak terkenal atau difitnah kita tetap dapat merasakan bahagia.
Epictetus – salah satu filsuf Stoa – mengatakan “Ada hal-hal yang baik, ada pula hal-hal yang buruk, beberapa lagi indifferent; netral. Hal yang baik adalah kebajikan; hal yang buruk adalah lawannya. Kekayaan, kesehatan dan ketenaran itu netral.” Ya, kaya-miskin, sehat-sakit, terkenal-tidak terkenal, adalah netral. Hal-hal ini tidak berpengaruh pada kebahagiaan kita.
Lihatlah ulama besar semacam Ibnu Taimiyyah atau HAMKA bagaimana penjara tidak dapat merebut kebahagiaan dirinya. Mereka memilih untuk bahagia, bagaimanapun kondisinya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Karena mereka tidak menyandarkan kebahagiaannya pada keadaan di luar dirinya.
Bukan berarti saat hidup di dunia kita mengabaikan kekayaan, kesehatan dan ketenaran (nama baik). Kita boleh mengusahakannya, namun apapun hasilnya terima dan cintailah. Jangan menyandarkan kebahagiaan kita pada mereka.
Terakhir, izinkan saya tutup artikel ini dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Yang namanya kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup.”