Banyak yang memulai bisnis dari nol. Tanpa produk, tanpa calon pelanggan, tanpa jejaring, dan tanpa-tanpa lainnya. Menurut saya, ini berisiko. Saya pernah baca, seorang kawan, resign dari pekerjaannya yang sudah mapan. Berjuang demi kebebasan finansial yang ia dambakan. Merintis bisnisnya benar-benar dari nol, alhasil bertahun-tahun ia berjuang dan masih jauh dari kata mapan. Ia bekerja keras, namun agak kurang bekerja cerdas.
Lalu sebaiknya bagaimana? Jangan mulai dari nol. Saya pelajari ilmu ini dari mentor bisnis pertama saya, pak Bardjo Utomo. Aplikasinya sangat sederhana. Misal, dalam konteks marketing. Katakanlah saat memasang spanduk, jangan pernah pasang spanduk di jalan yang sepi. Pasanglah spanduk di jalan yang ramai. Sehingga kita tidak mulai dari nol banget dalam berpromosi, kita sudah bisa hitung perkiraan yang akan melihat spanduk kita berapa orang dengan menghitung rata-rata orang yang lewat di jalan itu. Itu yang saya pelajari dulu tahun 2000an dari beliau. Hal yang sama bisa diaplikasikan dalam bentuk yang lebih modern. Misalnya di sosial media. Jangan berpromosi di akun kita jika kita baru memulai akun kita. Memulai akun dari awal adalah mulai dari nol. Akan berat mengumpulkan 5K-10K follower dalam waktu singkat. Alternatifnya, bermitralah dengan mereka yang punya follower banyak. Pikirkan cara kreatif agar akun Anda dipromosikan oleh mereka. Saya menggunakan cara ini sehingga akun saya pun meningkat jadi 10K dalam waktu 5 bulan. Terkait hal ini silakan baca di sini.
Contoh lain, saat saya pertama kali masuk di dunia pelatihan, saya merancang modul Self-Hypnosis. Modul ini dirancang dari pengalaman saya memprogram ulang pikiran. Saat itu saya berhasil memprogram ulang pikiran sehingga berhasil menaikkan pendapatan saya dari 10ribu per hari menjadi 100ribu per hari. Meskipun terlihat kecil, namun saat itu uang sebesar itu sangat berarti untuk menghidupi keluarga. Nah, saat akan memasarkan program seminar ini, saya tidak mau mulai dari nol. Saya pun jalan-jalan di dalam kampus ITB untuk putar otak. Target market saya saat itu adalah mahasiswa ITB. Di dalam kampus saya menemukan sebuah selebaran berisi informasi seminar Super Genius Memory. Saya berpikir, target peserta seminar ini sama dengan target market saya: sama-sama mahasiswa yang tertarik mengoptimalkan potensi otaknya. Beruntungnya, ternyata narahubung yang tercantum ternyata adalah tetangga kos saya dulu: mas Eko. Saya pun menghubungi beliau. Karena seminar ini sudah batch ke sekian, pasti sudah ada data alumninya, pikir saya. Ternyata benar. Saya menawarkan kerja sama dengan mas Eko, bagi hasil. Kelas perdana pun ramai, dan ini berlanjut hingga batch-batch berikutnya.
Satu masa, saya tertarik berbisnis event organizer. Sederhana saja alasannya, saat menjadi trainer penghasilan saya terbatas hanya ketika saya mengajar. Namun, sekali lagi, saya tidak mau memulai dari nol. Kebetulan saya sudah punya data base alumni, namun, yang mereka kenal adalah saya. Bagaimana agar mereka tertarik untuk belajar dengan orang lain? Jawabannya sederhana, saya perlu mengundang trainer yang lebih hebat dibandingkan saya. Maka, saya hubungi tiga orang trainer top dari Jakarta: kang Asep Haerul Gani, mas Novian Triwidia Jaya, dan mas Teddi Prasetya Yuliawan. Saya buatkan event mereka setiap bulan (bergantian) di Bandung. Karena mereka sudah punya nama dan saya punya data base, maka mudah bagi saya memasarkannya. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Strategi yang sama pun saya gunakan ketika ingin masuk ke pelatihan korporasi. Saya tidak mau mulai dari nol. Maka, saya cari kenalan training provider yang biasa mengadakan inhouse training untuk perusahaan. Dalam waktu singkat, saya mendapatkan 10 kontak training provider. Saya mengajukan diri sebagai peserta bayangan saat mereka mengadakan public training – dulu, banyak training provider yang butuh ini. Karena alasan kebijakan anggaran, seringkali perusahaan mengirim karyawannya ke public training. Mereka pun request ke training provider yang dikenalnya agar dibuatkan public training. Nah, di sini masalahnya. Kadang provider ini kesulitan mencari peserta lain, padahal wajib ada peserta yang berbeda perusahaan agar training tersebut sah disebut sebagai public training. Di sini lah, saya berperan. Saya membantu mereka jadi peserta bayangan. Di sela-sela kelas, saya ngobrol dengan pihak training provider menanyakan kebutuhan pelatihan di korporasi. Esoknya, saya titipkan proposal pada mereka. Strategi ini berjalan baik, tiap provider mengundang saya setidaknya satu kali dalam setahub untuk mengajar inhouse training. Artinya, hampir setiap bulan saya dapat undangan untuk mengajar di kelas inhouse. Alhamdulillah.
Jadi, kuncinya jangan pernah mulai dari nol, manfaatkanlah daya ungkit. Penerapannya bisa di marketing atau bahkan di product development. Di marketing, bisa dengan memanfaatkan partnership, endorsement, atau traffic. Di product development kita bisa lakukan dengan menanyakan ke target market produk apa yang merek butuhkan, cari pembeli awal, baru lakukan produksi. Saya melakukan ini ketika membuat kelas publik maupun menulis buku. Di lain waktu kita bahas lebih detail mengenai hal ini, insyaallah.