Pada saat mengikuti pelatihan Ericksonian Coaching di Vanaya saya sangat terpana dengan lima prinsip yang mendasari Ericksonian Coaching. Kelima prinsip ini disusun oleh Marylin Atkinson berdasarkan hasil pengamatan terhadap seorang psikoterapis legendaris: Milton Erickson. Sebenarnya sudah sering saya mendengar kelima prinsip ini, namun entah mengapa menyimaknya kembali dalam konteks coaching menjadikan segala sesuatunya berbeda (di dalam NLP, kelima prinsip ini dikenal dengan NLP Presupposition). Izinkan saya membagikan kepada Anda kelima prinsip ini.
Prinsip pertama: People are Okay as They Are
‘People are Okay’ adalah prinsip dasar yang mendasari prinsip-prinsip lainnya. Inilah sebuah prinsip inti yang menjadi jiwa sebuah proses coaching. Pendekatan Milton Eriskcon sangat khas, ia meyakini bahwa tidak ada yang salah dengan diri kliennya. Saat sang klien menyadari bahwa bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya dan menerima diri dan situasi apa adanya, justru seringkali membuat kliennya mengalami pencerahan dan perubahan yang luar biasa. Apa makna yang tersirat dari prinsip ini?
Pertama, orang berbeda dengan mesin. Mesin merupakan benda mati yang tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri, sehingga ia membutuhkan seorang mekanik untuk membetulkannya. Sementara manusia adalah makhluk hidup yang memiliki pikiran, emosi dan jiwa. Tugas seorang coach bukan memperbaiki manusia, melainkan menumbuhkan kesadaran dan insight agar mereka mengubah dirinya sendiri.
Kedua, dalam perspektif coaching, tidak ada yang salah pada diri seorang klien. Tidak ada yang rusak pada diri seorang klien, sehingga tidak ada yang perlu diperbaiki dari diri seorang klien. Jika seorang coach menganggap ada yang rusak atau salah pada diri seorang klien, maka ia akan tergoda untuk memperbaikinya. Alih-alih fokus pada masalah, coaching menggeser fokus klien dari masalah ke solusi.
Ketiga, saat kita meyakini bahwa “People are Okay” maka kita akan yakin bahwa mereka pada dasarnya punya potensi. Tanpa pemahaman terhadap prinsip ini, seorang coach akan kehilangan kepercayaan terhadap potensi kliennya. Seorang coach akan kehilangan pengharapan terhadap kliennya. Hasilnya, proses coaching menjadi tidak efektif.
Prinsip Kedua: Change is Inevitable
Perubahan itu tidak terelakkan. Meskipun secara umum manusina resisten terhadap perubahan, namun mau tidak mau, kita pasti mengalami proses perubahan. Umur, pengetahuan, dan pengalaman kita pasti berubah setiap hari. Pertanyaannya, apakah kita memanfaatkan perubahan alamiah ini untuk kebaikan kita atau justru sebaliknya? Memahami bahwa perubahan itu tidak terelakkan membuat kita menyadari bahwa agar kita tidak tergilas oleh perubahan maka kita pun perlu berubah. Jangan sampai kita seperti Dinosaurus yang tidak siap menghadapi perubahan sehingga mereka menjadi punah. Memahami bahwa perubahan itu tidak terelakkan juga membuat kita tidak mudah putus asa dengan keadaan yang kita alami sekarang. Prinsip ini membuat kita memiliki harapan dan optimisme terhadap masa depan: segala sesuatu pasti berubah. Bagi seorang coach, memahami prinsip ini juga membuat kita lebih optimis terhadap klien: bahwa mereka bisa berubah. Dan tugas kitalah mengawal perubahan tersebut.
Prinsip Ketiga: There is positive intention underlying every behavior.
Ada alasan positif dibalik setiap perilaku. Masih ingat prinsip pertama ‘People are Okay’? Prinsip kedua ini adalah prinsip pendukungnya. Semua perilaku seseorang, entah kita melihatnya baik atau buruk sebenarnya didasari oleh niat positif oleh pelakunya. Saat seseorang tidak berani memulai usaha sendiri misalnya. Perilaku ini pasti memiliki alasan positif dibaliknya. Bisa jadi, keputusan ini diambil untuk melindungi dirinya dari kegagalan yang mungkin dialami bila ia memulai usaha sendiri. Inilah ‘positive intention’ dibalik perilakunya. Bagaimana dengan orang yang marah-marah ke pasangannya hanya karena masalah sepele? Apakah masih ada ‘positive intention’ dibalik perilaku tersebut. Ya, pasti ada. Bisa jadi ‘positive intention’nya adalah ia ingin dirinya dihormati oleh pasangannya. Selalu ada ‘positive intention’ dibalik setiap perilaku, hanya saja tidak setiap perilaku pas/ekologis dengan lingkungan dan value.
Dalam psikoterapi, niat positif dibalik sakitnya seseorang kadangkala diistilahkan dengan ‘secondary gain’ keuntungan sekunder dari sakitnya. Orangtua yang sering sakit-sakitan tanpa alasan yang jelas misalnya. Sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya tidak ada yang bermasalah. Namun, fisiknya sakit. Bisa jadi hal ini disebabkan keuntungan sekunder yang ia dapatkan dari sakitnya: saat ia sakit, ia lebih diperhatikan oleh anaknya.
Inilah seni menjadi seorang coach, tidak terburu-buru memberikan ‘judgement’ pada perilaku klien-nya. Seorang coach yang baik akan menggali ‘positive intention’ dibalik perilaku tersebut sehingga sang coach lebih memahami alasan positif di balik setiap perilaku klien-nya. Lalu, apa manfaat mengenali ‘positive intention’ ini? Mengenalinya membuat kita mampu menerima klien apa adanya. Mengenalinya juga membuat kita tetap respek dengan apapun keputusan mereka. Timbal baliknya, mereka pun akan respek dengan sikap kita dan lebih mudah menjalani proses coaching tanpa takut disalahkan atau dinilai oleh coach-nya. Tentu saja ini akan menguntungkan bagi kedua belah pihak, klien akan menjadi lebih berdaya sehingga solusi-solusinya menjadi lebih kreatif dan bervariasi.
Prinsip Keempat: People always make the best choice at the time
Setiap keputusan dan tindakan seseorang pada dasarnya adalah keputusan yang paling tepat dan paling baik berdasarkan sumberdaya dan pilihan yang tersedia pada saat itu. Adapun jika saat ini ia merasa bahwa keputusannya tidak tepat, itu karena saat ini sumberdayanya sudah bertambah sehingga pilihan-pilihannya menjadi lebih luas.
Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip pertama. Saat kita meyakini bahwa ‘people are okay’ kita pun meyakini bahwa setiap orang ‘work perfectly’, tidak ada orang yang ‘broken’ sehingga perlu diperbaiki. Setiap keputusan dan tindakan seseorang adalah ‘sempurna’ berdasarkan kadar pengetahuan skill dan pengalamannya masing-masing.
Dulu, saya seringkali bingung dengan tindakan ‘bodoh’ yang diambil oleh orang lain. Saya menganggapnya ‘bodoh’ karena saya mengukurnya dengan ukuran saya. Pada saat itu, sebenarnya yang terjadi adalah saya tidak mampu melihat dari kacamata orang lain. Saya hanya memandang dari kacamata saya sendiri sehingga tidak memahami posisi orang tersebut. Sampai akhirnya saya memahami bahwa orang lain mengambil keputusan yang saya anggap ‘bodoh’ pada saat itu karena memang itulah pilihan terbaik menurut pemahaman mereka. Manusia membuat pilihan terbaik berdasarkan sumberdaya yang tersedia saat itu, prinsip ini membuat seorang coach lebih bijak dalam menilai keputusan-keputusan yang diambil oleh klien-nya.
Prinsip Kelima: People already have all the Resources
Prinsip yang terakhir adalah meyakini bahwa setiap orang sebenarnya memiliki sumberdaya untuk sukses. Tidak ada orang yang kekurangan sumberdaya. Setiap orang sudah memiliki lebih dari cukup sumberdaya untuk sukses. Entah berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman, ide atau imajinasi. Hanya saja, seringkali sumberdaya ini jauh terpendam di bawah sadarnya sehingga ia tidak menyadarinya. Atau ia terlalu fokus pada hambatan-hambatan sehingga sumberdayanya terhalangi dari penglihatannya. Atau ia fokus pada kelemahan-kelemahannya sehingga ia lupa dengan kekuatannya. Di sini lah seorang coach berperan. Seorang coach bisa menjadi cermin, agar klien dapat melihat sumberdaya di dalam dirinya. Melalui pertanyaany yang mengundang kesadaran dan inisiatif, seorang coach akan membantu klien untuk menemukan, menggali, dan memunculkan sumberdayanya.
Saat kita meyakini bahwa “People have all Resources”, maka kita yakin bahwa klien pada dasarnya kreatif dan berdaya. Pemahaman ini akan mengantarkan seorang coach untuk percaya bahwa klien punya jawaban dan mampu menemukan jawabannya. Jawaban dari masalah klien sudah ada pada diri klien. Maka, seorang coach tidak memberikan jawaban melainkan mengajukan pertanyaan dan mengundang proses penemuan. Memang, kadangkala klien berpikir bahwa mereka tidak punya jawaban. Atau mereka tidak yakin dengan jawaban mereka. Mereka cenderung memilih untuk mempercayai orang lain. Padahal, tidak ada satu solusi untuk semua. Apa yang dianggap efektif oleh seseorang belum tentu efektif untuk orang lain. Jawaban yang paling cocok untuk seseorang sudah ada tersimpan di dalam dirinya. Saat ia mau masuk ke dalam dirinya, dia akan menemukan jawabannya. Tugas coach adalah menyadarkannya dengan mengajukan pertanyaan yang tepat.
Ya, the coach’s job is to be curious, not to be expert. Pekerjaan seorang coach bukanlah menjadi expert melainkan menjadi curious/penasaran. Maka, ajukan pertanyaan dengan sikap curiosity, inilah yang membedakan antara seorang coach dengan seorang investigator.
Apa yang Saya Pelajari dari Kelima Prinsip di Atas
Menginternalisasikan kelima prinsip di atas dalam setiap sesi coaching, membuat saya belajar:
- Belajar menyimak lebih baik. Tugas seorang coach bukan hanya mengajukan pertanyaan. Tugas yang lebih penting adalah menyimak apa yang dikatakan oleh sang klien. Entah yang tersurat atau yang tersirat. Menyimak dengan baik membuat kita memahami mimpi-mimpi mereka, ‘value’ mereka, ‘positive intention’ mereka, dan ‘resources’ yang mereka miliki.
- Belajar meredam ego. Agar kita dapat menyimak dengan lebih baik, maka kita perlu belajar bagaimana meredam ego. Ego yang terlalu besar membuat apa yang dikatakan oleh klien tidak terdengar oleh kita. Ego membuat kita memberikan ‘judgement’ terhadap apa yang dikatakan oleh klien. Alhasil, kita akan gagal memahami sudut pandang mereka. Dengan meredam ego, kita membantu mereka bertumbuh sehingga mereka mampu menemukan solusi dari situasinya sendiri.
- Belajar menyadari keunikan setiap orang. Menjadi seorang coach menyadarkan kembali bahwa setiap orang unik dan berbeda. Tidak ada solusi yang “fit for all.” Setiap orang memiliki solusi yang paling unik bergantung kondisi dirinya.
- Belajar menyadari kembali bahwa setiap orang memiliki sumberdaya untuk berubah. Pada saat mengcoaching orang lain, kita disadarkan bahwa pada dasarnya setiap orang sudah memiliki sumberdaya untuk berubah. Adalah tugas seorang coach untuk menggalinya, menyadarkannya, memunculkannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memprovokasi pikiran mereka.
- Belajar bahwa perubahan itu mungkin terjadi. Kadangkala, kita putus asa dengan kondisi orang lain. Hal ini kemudian terbantahkan selama sesi coaching. Pada awalnya klien datang dengan segala kompleksitas masalahnya, seiring sesi coaching tiba-tiba semua terbuka, solusi dengan mudah mereka dapatkan dari dalam dirinya sendiri.
Kadang kita merasa bahwa profesi seorang coach adalah profesi yang hebat, keren dan cool. Pada dasarnya bukan coach yang hebat, keren dan cool. Klien-lah yang hebat, keren dan cool. Mereka hebat, karena mereka berani dan mau berubah. Mereka keren, karena mereka mampu menemukan solusinya sendiri. Mereka cool, karena mereka bersedia difasilitasi oleh seorang orang lain untuk mencapai potensi terbesarnya.