Bayangkan Anda masuk ke dalam sebuah kamar asrama berisi puluhan anak-anak yang baru bangun tidur. Sebagian masih rebahan di kasurnya, sebagian masih mengantuk, sebagian lagi sudah mulai membereskan tempat tidurnya. Lalu Anda berkata: “Kalian semua bangun dari tempat tidur” dengan nada yang tegas. Kalimat ini merupakan pernyataan yang menyatakan fakta bahwa semuanya sudah bangun. Namun di sisi lain, kalimat ini juga merupakan perintah yang menegaskan agar setiap anak benar-benar bangun dari tempat tidurnya. Satu kalimat mengandung pernyataan yang tidak bisa dibantah sekaligus perintah.
Dalam surat Al Isra ayat 84 Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: ‘tiap-tiap kalian beramal/bekerja/berbuat menurut syakilahnya masing-masing.’”
Secara struktur, kalimat di ayat ini memiliki makna yang serupa dengan ilustrasi sebelumnya. Kalimat ini mengandung pernyataan dan perintah.
Pernyataan bahwa memang setiap orang itu bekerja berdasar syakilah-nya masing-masing. Sekaligus perintah agar kita bekerja/beramal berdasar syakilah masing-masing.
Lalu, apa yang dimaksud dengan syakilah (شاكلة)?
Para ulama menafsirkan syakilah ini dengan keadaan, pembawaan, dan kondisi unik setiap orang. Dalam bahasa Arab, kata شاكلة juga dapat dimaknai dengan profil. Asal katanya adalah شكل yang bermakna “cetakan.”
Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar menjelaskan, syakilah adalah pembawaan lahir dan hasil pengkondisian lingkungan. Setiap orang punya pembawaan lahir (baca: sifat atau bakat) yang khas. Lingkungan tempat hidup setiap orang, pendidikan, dan pengalamannya juga berbeda-beda. Ini membuat setiap orang “tercetak” dengan bentuk fisik maupun psikis yang berbeda-beda. Kesemuanya membentuk “jiwa” setiap orang secara unik.
Dengan keunikan inilah, setiap orang lalu bekerja dan beramal. Ada yang bekerja di jalur yang tepat, namun ada juga yang bekerja di jalur yang tidak pas. Ada yang pekerjaan dan perbuatannya mengantarkan dirinya pada ridho Allah, ada pula yang justru menjauhinya.
Menariknya, banyak orang yang ketika berhasil justru bersikap sombong — dan sebaliknya, saat gagal ia berputus asa. Ia lupa bahwa keberhasilan dan kegagalan itu hak prerogatifnya Allah. Inilah mengapa, sebelum ayat ini Allah berfirman:
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ ۖ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.”
Berpaling dan membelakangi dapat dimaknai keluar dari jalan yang benar.
Nah, analogi jalan ini menarik. Dalam Al Qur’an, saat kita meminta petunjuk kita diajarkan untuk minta ditunjukkan JALAN — bukan TUJUAN. Padahal, normalnya di dunia nyata pada saat kita tersesat, kita minta arah menuju TUJUAN. Kita tidak bertanya: “Mana jalan yang benar?” tanpa menyatakan tujuannya dengan jelas. Kita selalu menambahkan “Mana jalan yang benar menuju Gedung Sate?” Rasanya tidak masuk akal menanyakan jalan tanpa tujuan. Namun, dalam Al Qur’an yang penting adalah meminta petunjuk pada JALAN yang benar, bukan pada TUJUAN.
Dalam surat Al Fatihah kita diajarkan do’a:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Kita minta ditunjukkan JALAN, bukan tujuan. Karena yang penting kita berada di jalan yang benar, tidak masalah jika masa lalu kita buruk — tidak perlu khawatir pula dengan masa depan karena itu di luar kendali. Fokus pada saat ini — apakah saat ini saya berada di jalan yang benar?
Kata الصِّرَاطَ dalam bahasa Arab merupakan bentuk tunggal, dalam bahasa Arab, tidak ada bentuk jamak dari kata ini. Maka, shirat dapat dimaknai dengan JALAN UTAMA yang tidak memiliki alternatif.
Kata yang digunakan berbeda dengan kata yang digunakan dalam surat Al Isra ayat 84:
فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
“Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
Di ayat ini Allah menggunakan kata سَبِيل yang maknanya juga jalan. Namun, kata سَبِيل ini punya bentuk jamak yaitu سُبُل. Apa beda antara الصِّرَاطَ dengan سَبِيل?
Kita bisa ibaratkan الصِّرَاطَ sebagai jalan utama, sementara سَبِيل adalah jalan-jalan kecil yang menuju ke jalan utama. Jalan-jalan kecil yang dilalui setiap orang dalam agama ini bisa jadi berbeda, namun semua menuju pada jalan utama yang sama.
Mengapa jalan yang dilalui setiap orang bisa berbeda? Karena setiap orang memiliki pembawaan yang berbeda-beda. Allah lebih tahu apakah jalan yang kita ambil tepat atau tidak. Sekarang, mari kita rangkai keseluruhan ayat dalam surat Al Isra 83-84:
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ ۖ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.”
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
Apa hikmah dari ayat ini?
- Motivasi untuk mengenal diri dengan lebih baik; seperti apa pembawaan unik kita (sifat dan bakat kita), apa kekuatan dan kelemahan kita. Setiap orang unik dan memiliki kekuatan serta kelemahan yang berbeda-beda.
- Jalan yang akan dilalui setiap orang akan berbeda. Namun, apapun jalannya pastikan jalan yang kita pilih memang jalan yang benar.
- Kadang kita tidak mengenal diri kita dengan baik, kadang kita ragu dengan jalan yang kita ambil. Pada saat ini terjadi, mintalah petunjuk dari Allah karena Allah lebih tahu tentang jalan yang kita ambil.
- Jangan hanya mengandalkan hasil asesmen saat mengenal diri, minta Allah beri kesadaran dan pengenalan atas diri kita juga sekali lagi karena Allah lebih mengetahui tentang jalan kita.
- Bukan hak kita menghakimi apakah seseorang berada di jalan yang lurus atau sudah keluar dari jalan tersebut, Allah yang punya hak — Allah yang lebih tahu.
Disclaimer: tulisan ini adalah insight yang saya dapatkan setelah menyimak kajian ust. Nouman Ali Khan dan membaca beberapa kitab tafsir terkait surat Al Isra ayat 83-84.


Pingback: Kesadaran Diri, dari Self-Awareness ke Marifatunnafs – DARMAWAN AJI