fbpx
Darmawan Aji Productivity Coach & NLP Enthusiast. Penulis 4 buku laris: Hypnowriting, Hypnoselling, Life by Design, Productivity Hack. Gandrung membaca, menulis dan berlatih silat tradisional. Tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung.

Perceraian dalam Islam dan Maqashid Syariah

1 min read

red amazon danbo on brown wooden surface

Sudah hampir satu tahun ke belakang setiap hari Selasa saya belajar ilmu tafsir di Lembaga Studi Ulumul Qur’an Bandung. Nah, di perkuliahan kemarin, dosen saya ust. Idris Syafi’i membedah fiqh perceraian dari surat At Thalaq. Bahasan ini menarik. Kenapa demikian? Karena arti dari at Thalaq sendiri adalah “perceraian.” Kenapa sampai repot-repot bahas perceraian dalam Kitab Suci? Dari bahasan perkuliahan kemarin, saya pun mendapatkan pencerahan.

Saya akan awali bahasan kali ini dengan maqashid syariah yang disampaikan oleh Imam Asy Syatibi. Apa itu maqashid syariah? Maqashid artinya maksud atau tujuan, syariah artinya hukum dan aturan. Jadi, Allah menurunkan hukum dan aturan bukan tanpa maksud. Tujuan dari syariat adalah untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Namun memang, sering kali maksud ini tersembunyi, kita perlu “ngulik” untuk memahaminya.

Menurut Imam Asy Syatibi, ada lima tujuan syariat.

  • Pertama, untuk melindungi agama (hifdzud diin).
  • Kedua, untuk melindungi jiwa (hifdzun nafs).
  • Ketiga, untuk melindungi akal (hifdzul ‘aql).
  • Keempat, untuk melindungi harta (hifdzul mal).
  • Kelima, untuk melindungi keturunan (hifdzun nasb).

Maka, setiap hukum dan aturan dalam Islam sebenarnya ditujukan untuk melindungi kelima hal di atas.

Misalnya, aturan perceraian dalam Islam, saya kutip sebagian yang saya pahami dari perkuliahan kemarin:

  • Tidak boleh cerai langsung talak tiga (cerai yang tidak ada kemungkinan untuk rujuk lagi).
  • Istri tidak boleh dicerai dalam keadaan haid, perlu menunggu suci baru boleh diceraikan.
  • Istri tidak boleh diceraikan setelah digauli, harus memastikan apakah ia hamil atau tidak terlebih dahulu baru boleh diceraikan.
  • Setelah bercerai, seorang wanita tidak boleh langsung menikah, ia harus menunggu waktu iddah (masa tunggu) nya selesai.
  • Jika dalam masa iddah mantan suami meninggal, istri tetap berhak mendapatkan waris (selama talaknya belum talak tiga).
  • Setelah diceraikan, istri tidak boleh diusir dari rumahnya.
  • Setelah diceraikan, istri wajib tetap dinafkahi oleh mantan suaminya sampai masa tunggunya selesai.
  • Jika sedang hamil, maka biaya selama kehamilan, menyusui, dan mendidik anak menjadi kewajiban suaminya.

Perhatikan, aturan di atas setidaknya memiliki tujuan melindungi keturunan (hifdzun nasb), sehingga setiap anak jelas nasabnya (ia anak siapa). Maka, perceraian dalam Islam perlu dilakukan dalam keadaan tenang dan akal sehat, bukan secara emosional. Cerai juga bukan solusi bagi suami yang ingin lepas tanggung jawab, karena setelah bercerai mantan suami masih punya tanggung jawab yang harus ia tunaikan. Dari sini makin kuat keyakinan saya bahwa setiap hukum dan aturan dalam Islam memiliki tujuan untuk kebaikan.

Darmawan Aji Productivity Coach & NLP Enthusiast. Penulis 4 buku laris: Hypnowriting, Hypnoselling, Life by Design, Productivity Hack. Gandrung membaca, menulis dan berlatih silat tradisional. Tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *