Pernahkah kamu merasa hidup seperti perlombaan yang tak kunjung selesai? Baru membuka mata, belum sepenuhnya sadar, tangan kita langsung meraih ponsel. WhatsApp. Email. Kalender.
Kita pun lalu tenggelam dalam rutinitas pekerjaan. Tanpa terasa, waktu berlalu. Malam tiba, lalu muncul sebuah pertanyaan dalam benak kita: “Sebenarnya hari ini aku sedang mengejar apa?”
Kita berlomba dengan waktu seakan-akan ada yang mengejar kita. Kita tertekan dari dalam maupun luar. Kita tertekan oleh rekues dari klien, perintah dari atasan, atau bahkan ekspektasi dari keluarga. Namun, yang lebih menekan lagi sering kali justru tekanan dari dalam: keinginan untuk tampil produktif, perasaan bersalah saat beristirahat, atau kekhawatiran tertinggal dari orang lain.
Di tengah dunia yang riuh, penuh tekanan, dan terburu-buru, banyak dari kita kehilangan satu hal yang paling mendasar: ketenangan.
Padahal, tanpa ketenangan, kita hanya akan sibuk tanpa arah.
Produktif, tapi kosong. Menjalani kehidupan, tapi tidak benar-benar hidup.
Selama ini, bisa jadi kita menganggap ketenangan sebagai hasil akhir—hadiah setelah semua urusan beres. Namun sesungguhnya, ketenangan adalah fondasi. Ia adalah akar dari semua kebaikan lain dalam hidup.
Dalam ruang batin yang tenang:
Kita bisa berpikir jernih dan membuat keputusan yang bijak.
Kita bisa membedakan mana yang penting dan mana yang hanya mendesak.
Kita bisa hadir penuh dalam relasi, bukan sekadar bertemu fisik tapi absen secara emosi.
Dan dari sanalah lahir karya-karya terbaik—yang bukan hanya tuntas terselesaikan, tetapi juga bernilai dan bermakna.
Sebaliknya, kegelisahan membuat kita reaktif. Terjebak dalam mode bertahan. Dan akhirnya, kita hanya berjalan di tempat… sambil merasa sangat lelah.
Pertanyaannya, bagaimana cara meraih ketenangan? Sebenarnya, ketenangan adalah anugrah yang Allah turunkan kepada hambanya. Maka, banyak-banyak berdo’a agar Allah berikan ketenangan adalah kuncinya. Namun demikian, kita juga diberikan kesempatan untuk mengusahakannya.
Ada tiga prinsip yang mungkin bisa kita praktikkan.
1. Terima Hal-Hal di Luar Kendali Kita
“Ada hal-hal yang ada dalam kendali kita, dan ada hal-hal yang ada di luar kendali kita.” — Epictetus
Kecemasan, frustrasi, stress, marah, dan ketakutan sering kali terjadi saat kita terobsesi untuk mengendalikan hal-hal di luar kendali kita.
Kita merasa tertekan oleh situasi yang ada. Padahal sebenarnya bukan situasi yang menekan kita. Keinginan kita untuk mengendalikan hal-hal di luar kendalilah yang menekan kita.
Menerima hal-hal di luar kendali seperti kondisi ekonomi, kebijakan pemerintah, opini orang lain, dan hasil-hasil yang kita dapatkan adalah cara kita untuk tetap tenang dan waras. Menerima bukan berarti kita menyerah, melainkan mengalihkan fokus dan energi kita pada hal-hal yang bisa kita kendalikan: pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan kita sendiri.
Mengusahakan hal-hal yang ada dalam kendali kita adalah wilayah ikhtiar, sementara menerima hal-hal yang ada di luar kendali kita adalah wilayah tawakal.
Sebagai latihan, kamu boleh menuliskan satu hal yang membuat kamu gelisah beberapa waktu ini. Lalu, tanyakan: apakah ini bisa saya kendalikan? Jika iya, apa yang bisa saya lakukan? Jika tidak, apa yang ada dalam kendali saya?
2. Hadir Sepenuhnya di Sini, Saat Ini
“Mindfulness berarti memberikan perhatian dengan cara tertentu: secara sengaja, pada saat ini, dan tanpa menghakimi.” — Jon Kabat-Zinn
Tubuh kita selalu di sini, namun pikiran kita seringkali berada di sana. Ya, pikiran dan tubuh kita seringkali tidak menyatu. Saat kita bercengkrama dengan anak atau pasangan, bisa jadi tubuh kita ada di sini bersama mereka, tetapi bagaimana dengan pikiran kita? Apakah pikiran kita juga hadir di sini?
Seringkali yang terjadi, pikiran kita berkelana ke masa lalu atau mengembara ke masa depan. Pikiran kita melompati waktu: menyesali masa lalu, mengkhawatirkan masa depan. Jika ini terjadi, bagaimana kita bisa merasa tenang? Ketenangan hanya akan bisa kita rasakan saat kita menyatukan pikiran dan tubuh di sini saat ini. Karena satu-satunya tempat di mana hidup benar-benar berlangsung hanyalah saat ini.
Penelitian dari Matthew Killingsworth mengamini hal ini. Hadir utuh di sini saat ini, menyatukan pikiran dan tubuh, adalah cara untuk merasakan bahagia.
Sebagai latihan, sesekali luangkanlah waktu untuk sengaja menyadari tubuh dan pikiran kita sendiri. Cukup duduk tenang, boleh dengan membuka atau menutup mata, lalu sadari napas yang kita lakukan. Lalu, amati pikiran-pikiran yang melintas saat itu—amati saja, tidak perlu dikendalikan. Setiap kali lintasan pikiran muncul, lepaskan, kembalikan perhatian kamu pada napas yang sedang kamu lakukan. Di awal, cukup lakukan latihan ini 1 menit saja. Bisa saat bangun tidur, akan bekerja, atau saat berbaring menjelang tidur.
3. Berhenti Sejenak Sebelum Merespons
“Di antara stimulus dan respons, terdapat sebuah ruang. Di dalam ruang itu, terdapat kekuatan kita untuk memilih respons. Dalam respons kita, terletak pertumbuhan dan kebebasan kita.” — Viktor E. Frankl
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih responsnya. Namun sering kali, kita tidak benar-benar memanfaatkannya. Kita hanya bereaksi—bukan merespons.
Suatu hari, saya berbincang dengan seorang sahabat. Ia bertanya, “Apa bedanya cepat dengan tergesa-gesa?” Saya terdiam, menunggu kelanjutan ucapannya. Lalu ia melanjutkan, “Bedanya ada pada basmalah.” Saya sempat kebingungan.
“Maksudnya bagaimana?” tanya saya.
Sahabat saya menjelaskan, meskipun kita melakukan sesuatu dengan kecepatan yang sama, maknanya bisa berbeda. Cepat adalah ketika kita masih sempat membaca basmalah sebelum bertindak. Jika kita tidak sempat berhenti sejenak hanya untuk sekadar membaca basmalah, maka saat itu kita sedang tergesa-gesa.
Dari obrolan ini, saya mendapatkan pemahaman baru: jeda adalah kunci yang membedakan antara cepat dan terburu-buru. Jeda—berhenti sejenak untuk melepaskan beban emosi dari aktivitas sebelumnya, dan untuk meluruskan niat sebelum melangkah ke aktivitas berikutnya—adalah kunci ketenangan dalam melangkah.
Hal yang sama berlaku dalam cara kita menanggapi situasi. Bereaksi dan merespons adalah dua hal yang berbeda. Bereaksi adalah ketika kita langsung menanggapi—baik dengan kata-kata maupun tindakan—tanpa memberi ruang sadar, tanpa melakukan jeda. Merespons, sebaliknya, adalah saat kita memberi diri sendiri jeda. Jeda untuk menenangkan batin. Jeda untuk menyadari perasaan. Jeda untuk memilih versi terbaik dari diri kita.
Jeda adalah kunci ketenangan saat menghadapi situasi yang tidak kita inginkan.
Saat menerima komentar yang menyakitkan, menghadapi kemarahan, atau harus membuat keputusan dalam kondisi emosional—di situlah ruang sadar ini menjadi penting. Ruang untuk berhenti. Menarik napas. Menyadari bahwa kita tidak harus langsung menjawab.
Sebagai latihan, jika suatu saat kamu tergoda untuk langsung bereaksi—lewat pesan, ucapan, atau keputusan—berhentilah sejenak. Tarik napas perlahan. Hitung dari satu sampai sepuluh. Lalu tanyakan pada diri sendiri: “Respons apa yang mencerminkan versi terbaik dari diriku?”
Di ruang kecil itu, ada ketenangan.
Dan dari ketenangan itulah, tumbuh kebijaksanaan.
Jika kamu suka dengan artikel ini, silakan share insightnya di media sosial yak. Jangan lupa mention saya di @ajipedia