Pentingkah mengenal diri sendiri? Mengapa? Pertanyaan ini mungkin muncul dalam diri. Tidak semua orang merasa perlu mengenal dirinya sendiri. Dalam ilmu psikologi, proses mengenal diri sendiri dikenal dengan istilah self-awareness (kesadaran diri). Dalam banyak riset, self-awareness berkaitan dengan kepercayaan diri dan pengendalian diri yang lebih baik. Mereka yang memiliki self-awareness juga lebih jarang berbohong, curang, atau mencuri. Ujungnya mereka yang punya self-awareness cenderung mendapatkan promosi yang lebih baik dan menjadi leader yang lebih efektif. Maka, benar apa yang dikatakan oleh Aristoteles:
“Mengenal dirimu sendiri adalah awal dari semua kebijaksanaan”
Namun demikian, bahasan dan definisi self-awareness sangatlah beragam. Selama 50 tahun ke belakang, istilah self-awareness marak digunakan, namun tidak banyak yang memahami esensi di baliknya. Sampai kemudian Tasha Eurich, PhD dan timnya pada tahun 2018 melakukan riset besar-besaran terkait self-awareness ini. Ia dan timnya:
- Menganalisis 800 studi ilmiah terkait self-awareness selama 50 tahun terakhir.
- Melakukan survei ke 5000 orang dari berbagai negara dan industri.
- Melakukan interview mendalam ke 50 orang yang secara dramatis berhasil meningkatkan self-awareness mereka.
Semua ini dilakukan untuk mempelajari apa yang dimaksud dengan self-awareness, mengapa kita memerlukannya, dan bagaimana kita dapat meningkatkannya. Dari riset tersebut, dihasilkan tiga kesimpulan utama sebagai berikut:
Pertama, ada dua tipe self-awareness: internal dan eksternal. Keduanya penting dan perlu dibangun.
Internal self-awareness adalah seberapa jernih kita memahami nilai, hasrat, aspirasi, serta reaksi kita (termasuk pikiran, perasaan, perilaku, kekuatan, dan kelemahan), dan dampaknya pada orang lain. Dari riset disimpulkan bahwa internal self-awareness terasosiasi dengan kepuasan dalam bekerja dan membangun hubungan, kendali diri dan sosial, serta kebahagiaan. Ia juga berbanding terbalik dengan kecemasan, stress, dan depresi.
Sementara External self-awareness adalah memahami bagaimana orang lain melihat kita, dalam konteks yang sama dengan poin-poin sebelumnya. Berdasar riset, self-awareness tipe ini berkaitan dengan kemampuan menunjukkan empati dan melihat dari sudut pandang orang lain. Ini sangat bermanfaat dalam efektivitas kita sebagai seorang leader.
Kedua, apa yang kita ketahui tentang diri sendiri seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Riset menunjukkan, banyak orang yang menaksir terlalu tinggi (overestimate) terhadap kemampuannya. Hal ini bahkan lebih banyak terjadi di kalangan leader yang lebih tinggi. Mengapa demikian? Karena semakin tinggi posisi seseorang, semakin sedikit orang yang mau dan berani memberikan umpan balik kepadanya.
Ketiga, untuk meningkatkan self-awareness lakukan refleksi diri dengan menanyakan “apa” bukan “kenapa.”
Misalnya, saat kita merasa tidak bahagia, jangan tanyakan “kenapa saya merasa tidak bahagia?” melainkan tanyakan “dalam situasi apa saja saya merasa tidak bahagia? apa kesamaan di antara situasi tersebut?” Atau saat kita mendapatkan umpan balik negatif, jangan tanya “kenapa kamu berkata seperti itu?” Namun tanyakan, “apa saja yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki diri di masa depan?”
Maka, dari riset Tasha Euric, kunci untuk membangun self-awareness adalah:
- Bangun kedua tipe self-awareness, jangan hanya salah satunya.
- Dapatkan umpan balik dari orang-orang yang dapat Anda percaya.
- Tanyakan “apa” bukan “kenapa” untuk melihat diri sendiri dengan lebih jelas.
Dari Self-Awareness ke Ma’rifatunnafs
Menariknya, dalam keilmuan Islam, bahasan self-awareness juga sudah dikenal jauh sebelum para psikolog mengenalkannya. Istilah yang digunakan adalah ma’rifatunnafs (mengenal diri). Hanya saja, definisi ma’rifatunnafs sedikit berbeda dan lebih luas dari bahasan self-awareness dalam psikologi. Misalnya, Imam Al Ghazali (1058-1111). Beliau banyak membahas tentang ma’rifatunnafs. Misalnya dalam kitab fenomenalnya: Ihya ‘Ulumuddin.
Namun, tentu saja istilah nafs yang digunakan para ulama bukan hanya merujuk pada nafs bermakna diri yang dapat diinderai. Istilah nafs yang sering diterjemahkan dengan ‘diri’ sebenarnya mengacu pada esensi diri kita yaitu jiwa kita. Jiwa kita lah diri kita yang sejati, badan hanyalah kendaraan. Karena pada dasarnya kita adalah ruh yang “mengendarai” jasad. Selaras dengan hal ini seorang filusuf Perancis pernah berkata:
“We are not human beings having a spiritual experience; we are spiritual beings having a human experience.”
Sehingga mengenal diri yang diajarkan oleh ulama tasawuf bukan sekadar mengenali nilai, hasrat, pikiran, perasaan, perilaku, kekuatan dan kelemahan diri kita saja. Tetapi juga mengenali “struktur” jiwa dan keadaan-keadaannya. Tentu saja, bukan dalam memahami hakikatnya melainkan untuk memahami bagaimana kita berinteraksi dengannya.
Lalu, apa manfaatnya melakukan ma’rifatunnafs semacam ini? Setidaknya ada tiga manfaat yang akan kita dapatkan.
Pertama, mengenal jalan hidup kita.
Mengenal diri membantu kita mengenal jalan hidup kita. Allah SWT dalam surat Al Isra 84 berfirman:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
Salah satu bagian dari proses mengenal diri adalah mengenal syakilah kita. Syakilah itu adalah pembawaan, karakter, sifat, dan bakat kita. Setiap orang memiliki syakilah yang berbeda-beda. Beda syakilah, beda jalan yang dilaluinya. Mengenal diri memudahkan kita mengenali jalan hidup terbaik kita. Saya sempat menulis artikel khusus tentang ini di artikel berikut:
Syakilah dan Jalan Lurus dalam Hidup
Salah satu bagian dari mengenal diri adalah mengenali syakilah kita. Ini akan memudahkan kita mengenali jalan hidup yang kita ambil. Tentu saja dengan tetap meminta petunjuk dari Allah, karena Allah lebih tahu tentang siapa yang lebih benar jalannya.
Kedua, membangun akhlak yang baik.
Rasulullah SAW bersabda:
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikah adalah akhlak yang baik, sedang dosa adalah sesuatu yang mengganjal dalam hatimu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya” (HR. Muslim)
أَثْقَلُ مَا يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Amal yang paling berat di mizan (timbangan amal) pada hari kiamat adalah taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik” (HR Abu Dawud & Tirmidzi)
Apa yang dimaksud dengan husnul khuluq (akhlak-akhlak yang baik) ini?
Dalam Ihya’Ulumuddin Imam Al Ghazali menyampaikan:
فَالْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ الْأَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرِوَايَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الْهَيْئَةُ بِحَيْثُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْأَفْعَالُ الْجَمِيْلَةُ الْمَحْمُوْدَةُ عَقْلًا وَشَرْعًا سُمِيَتْ تِلْكَ الْهَيْئَةُ خُلُقًا حَسَنًا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)
“Khuluq merupakan suatu ungkapan keadaan jiwa yang tertanam di dalamnya. Berbagai perbuatan muncul darinya dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Dan apabila keadaan yang tertanam itu muncul darinya perbuatan yang baik menurut akal dan syara’, maka disebut dengan husnul khuluq”
Perhatikan rumusan berikut:
Akhlak = Keadaan Jiwa + Otomatis —> Perilaku
Akhlak bukan hanya nampak dari perilaku eksternal, akhlak sebenenarnhya merujuk pada keadaan internal seseorang. Ketika keadaan internal seseorang secara otomatis memunculkan perilaku, itulah yang dimaksud dengan akhlak. Maka, akhlak bisa disinonimkan dengan ‘karakter.’ — sebuah kualitas yang melekat pada diri. Kualitas ini bisa muncul dari pembawaan alamiah atau hasil latihan dan pembiasaan.
Nah, karena akhlak ini terkait dengan keadaan-keadaan jiwa, maka kita perlu memahami berbagai keadaan jiwa kita dahulu dan proses pembentukannya. Inilah pentingnya ma’rifatunnafs.
Ketiga, mengenal Allah.
Mengenal diri mengantarkan kita untuk mengenal Allah. Sebuah ungkapan mengatakan:
من عرف نفسه، فقد عرف ربّ
“Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya akan mengenal Tuhannya.”
Ungkapan ini sering disebut sebagai hadits nabi, namun Imam Nawawi dan dan Imam Suyuthi mengatakan bahwa ungkapan ini bukanlah hadits. Kemungkinan besar, ini adalah ucapan ulama terkenal Yahya bin Muadz Ar Razi.
Menurut Al Ghazali, bila mengenal diri mengantarkan kita mengenal Allah, maka mengenal diri menjadi bagian dari pokok agama.
Menariknya, hubungan ini bersifat bolak-balik. Ungkapan ulama di atas juga berlaku sebaliknya:
من عرف ربّه ف عرف نفسه
“Barangsiapa mengenal Tuhannya maka ia akan mengenal dirinya.”
Allah berfirman dalam QS Thaha ayat 7
فَإِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلسِّرَّ وَأَخْفَى
“Maka sesungguhnya Dia (Allah) mengetahui ٱلسِّرَّ dan أَخْفَى”
Apa itu ٱلسِّرَّ? As Sirru adalah rahasia. Sementara أَخْفَى adalah hal yang lebih tersembunyi lagi. Perhatikan, apa yang lebih tersembunyi dari rahasia?
Menurut ust Nouman Ali Khan, ‘As Sirru’ atau rahasia adalah sesuatu yg ada dalam diri kita dan kita mengetahuinya. Sementara ‘Akhfa’ adalah sesuatu ada di dalam diri kita namun bisa jadi kita tidak mengetahui atau menyadarinya — sesuatu yang ada di dalam subconscious kita; yang tertanam dalam memori terdalam kita dan ia mempengaruhi cara kita berbicara serta bertindak.
Allah mengetahui keduanya. Maka, mengenal Allah akan meluaskan kesadaran kita pada hal-hal yg tersembunyi dalam diri kita. Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Lupa kepada Allah membuat kita lupa/tidak sadar pada diri. Sebaliknya, mengingat dan mengenal Allah akan membuat kita semakin sadar dengan diri kita.
Kesimpulan
Ma’rifatunnafs ujungnya akan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia maupun akhirat.
السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ
“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafs-nya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuasai nafs-nya.”
Ya, nafs tidak selalu mengajak pada kebaikan. Tanpa dilatih, nafs kita akan mengajak pada keburukan (dalam bahasa Indonesia disebut dengan nafsu).
Sahabat saya, mas Teddi Prasetya, sering berkata: “Apa-apa yang tidak kita sadari mengendalikan kita, apa-apa yang kita sadari bisa kita kendalikan.” Menyadari nafs kita akan memudahkan kita dalam menguasainya, tidak menyadarinya membuat kita dikuasai olehnya.
Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Laozi:
“Mengenal orang lain adalah kecerdasan, mengenal diri sendiri adalah kebijaksanaan yang sebenarnya. Menguasai orang lain adalah kekuatan, menguasai diri sendiri adalah kekuatan yang sebenarnya.”


Keren sekali konsep nafs dalam Islam. Saya ingin baca lebih lanjut apakah ada referensi yg direkomendasikan pak?
Membaca ini mengingatkan sy kembali pada fitrahnya manusia yg punya ruh-jiwa, bukan sekedar makhluk biologis semata